F Merangkai Budaya Positif di Sekolah : Mengintegrasikan Filosofi Ki Hajar Dewantara dan Konsep Restitusi | Ismanadi -->

Merangkai Budaya Positif di Sekolah : Mengintegrasikan Filosofi Ki Hajar Dewantara dan Konsep Restitusi

Jam Session on Stage Purnawiyata

Sebagai seorang guru yang berperan aktif dalam menciptakan budaya positif di sekolah, saya memahami bahwa peran saya tidak hanya terbatas pada mengajar, tetapi juga membimbing, menginspirasi, dan membentuk karakter siswa. Dalam upaya ini, saya menerapkan berbagai konsep inti yang membantu membangun lingkungan belajar yang kondusif dan mendukung perkembangan siswa, baik secara akademis maupun emosional.

Salah satu pendekatan utama yang saya gunakan adalah “Disiplin Positif”. Disiplin positif bukan sekadar mengendalikan perilaku siswa melalui hukuman, tetapi lebih pada mengarahkan mereka untuk memahami konsekuensi dari tindakan mereka dan belajar untuk membuat keputusan yang lebih baik di masa depan dengan memberikan ruang keterlibatan mereka dalam menentukan keyakinan kelas ataupun sejenisnya. Melalui pendekatan ini, saya berupaya untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kemandirian dalam diri siswa, yang selaras dengan visi Guru Penggerak yang mendorong siswa untuk menjadi individu yang mandiri dan bertanggung jawab.

Konsep “motivasi perilaku manusia” juga menjadi bagian penting dari pendekatan saya. Saya memahami bahwa setiap siswa memiliki motivasi yang berbeda, mengingat setiap pribadi memiliki kebutuhan dasar masing-masing yang tidak sama keterpenuhannya. Untuk itu penting untuk menemukan keseimbangan antara hukuman dan penghargaan. Penghargaan diberikan untuk memotivasi siswa yang telah menunjukkan perilaku positif, sementara hukuman diterapkan secara bijak sebagai sarana untuk memperbaiki perilaku yang kurang sesuai, bukan untuk menghukum secara keras. Dengan memahami motivasi dasar ini, saya dapat membantu siswa untuk lebih memahami dan mengontrol perilaku mereka, sejalan dengan filosofi Ki Hajar Dewantara yang menekankan pentingnya pendidikan sebagai sarana untuk mengembangkan potensi individu secara menyeluruh sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zaman.

Selain itu, sebagai seorang guru, kami memiliki pilihan posisi kontrol, yang dapat kami pilih dan gunakan dalam konsep segitiga restitusi yakni berfokus pada upaya mengembalikan siswa ke posisi kontrol setelah mereka melakukan kesalahan. Restitusi bukan sekadar memperbaiki kesalahan, tetapi juga merupakan proses di mana siswa belajar memahami dampak dari tindakan mereka dan membuat efek perubahan secara konstruktif. Hal ini mendukung pengembangan karakter yang kuat dan rasa tanggung jawab pribadi, sesuai dengan nilai-nilai yang diusung oleh Guru Penggerak.

Selain itu, keyakinan sekolah atau lebih mengerucut pada keyakinan kelas menjadi landasan dalam menciptakan budaya kelas yang positif. Dengan menetapkan keyakinan bersama yang jelas, seperti misalnya yang berakar pada visi DREAM BIG (Disiplin, Religius, Aktif, Mandiri, Bersih, Inovatif, dan Gotong Royong), saya membantu membangun lingkungan kelas yang mendukung kolaborasi, rasa hormat, dan tanggung jawab bersama. Keyakinan ini membantu siswa untuk memahami harapan yang ada dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang telah disepakati bersama.
Berkarya Seni Zentangle

Pengelolaan Perilaku Dengan Segitiga Restitusi

Lebih dalam lagi terkait dengan segitiga restitusi, hal tersebut merupakan alat penting lainnya yang saya gunakan dalam proses pengelolaan perilaku. Dengan menggunakan tiga komponen utama—identifikasi perasaan, analisis pilihan, dan tindakan perbaikan—saya membantu siswa untuk merefleksikan tindakan mereka, memahami pilihan yang mereka miliki, dan menentukan tindakan perbaikan yang sesuai. Ini tidak hanya mengajarkan tanggung jawab, tetapi juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar dari kesalahan mereka, sebuah pendekatan yang sejalan dengan visi Guru Penggerak yang berfokus pada pembelajaran yang berpusat pada siswa.

Semua konsep ini tidak terlepas dari Filosofi Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara, yang menempatkan guru sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran, yang membimbing siswa melalui pengajaran yang berpusat pada nilai-nilai moral dan etika. Sebagai Calon Guru Penggerak, saya mengintegrasikan nilai-nilai ini dalam setiap aspek pembelajaran saya, dengan tujuan menciptakan lingkungan belajar yang positif dan holistik. Saya percaya bahwa dengan menerapkan konsep-konsep ini secara konsisten, saya dapat memainkan peran kunci dalam membentuk generasi masa depan yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga kuat dalam karakter dan moral.

Observasi Pemahaman Konsep Budaya Positif Melalui Pertanyaan Pemantik

1. Sejauh mana pemahaman Anda tentang konsep-konsep inti yang telah Anda pelajari di modul ini, yaitu: disiplin positif, teori kontrol, teori motivasi, hukuman dan penghargaan, posisi kontrol guru, kebutuhan dasar manusia, keyakinan kelas, dan segitiga restitusi. Adakah hal-hal yang menarik untuk Anda dan di luar dugaan?
Pemahaman saya tentang konsep-konsep inti ini semakin mendalam. Disiplin positif mengajarkan cara mengelola perilaku dengan mendukung perkembangan siswa, sementara teori kontrol dan motivasi memberikan wawasan tentang bagaimana memotivasi siswa secara efektif. Konsep posisi kontrol guru, kebutuhan dasar manusia, dan keyakinan kelas sangat relevan dalam membangun lingkungan yang sehat. Yang paling menarik adalah segitiga restitusi, yang menawarkan pendekatan yang lebih reflektif dan konstruktif dalam menangani masalah perilaku siswa.

2. Perubahan apa yang terjadi pada cara berpikir Anda dalam menciptakan budaya positif di kelas maupun sekolah Anda setelah mempelajari modul ini?
Setelah mempelajari modul ini, cara berpikir saya bergeser dari sekadar menerapkan aturan ke pendekatan yang lebih humanistik dan reflektif. Saya lebih fokus pada pengembangan hubungan yang positif, pemahaman kebutuhan dasar siswa, dan pemberdayaan mereka melalui kontrol diri. Saya sekarang lebih sadar akan pentingnya memfasilitasi pertumbuhan siswa dengan cara yang mendukung dan penuh rasa hormat, bukan hanya menegakkan disiplin.

Merancang Ilustrasi Digital

3. Pengalaman seperti apakah yang pernah Anda alami terkait penerapan konsep-konsep inti dalam modul Budaya Positif baik di lingkup kelas maupun sekolah Anda?

Saya pernah menerapkan disiplin positif dengan mengajak siswa berdialog mengenai perilaku yang tidak sesuai. Alih-alih menghukum, saya membimbing mereka untuk memahami konsekuensi dari tindakan mereka dan mencari solusi yang lebih baik di masa depan. Pengalaman ini memperlihatkan bahwa siswa lebih responsif dan merasa lebih dihargai ketika diberi kesempatan untuk berkontribusi dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada mereka.

4. Bagaimanakah perasaan Anda ketika mengalami hal-hal tersebut?
Perasaan saya saat menerapkan konsep-konsep ini sangat positif. Saya merasa lebih terhubung dengan siswa dan lebih mampu memahami mereka secara individual. Ada kepuasan tersendiri ketika melihat siswa mampu mengenali dan memperbaiki perilaku mereka dengan dukungan yang saya berikan. Ini memberikan keyakinan bahwa pendekatan yang lebih reflektif dan humanistik efektif dalam menciptakan budaya positif.

5. Menurut Anda, terkait pengalaman dalam penerapan konsep-konsep tersebut, hal apa sajakah yang sudah baik? Adakah yang perlu diperbaiki?
Yang sudah baik adalah pendekatan dialogis dan partisipatif yang saya terapkan dalam mendisiplinkan siswa, yang terbukti efektif dalam mendorong tanggung jawab pribadi. Namun, saya menyadari bahwa perlu lebih konsisten dalam menerapkan segitiga restitusi, terutama dalam memastikan setiap tahap dijalani dengan benar. Selain itu, ada ruang untuk meningkatkan komunikasi dengan orang tua agar mereka lebih mendukung upaya ini di rumah.
Admin Kegiatan Komunitas Praktisi - Webinar Series

6. Sebelum mempelajari modul ini, ketika berinteraksi dengan murid, berdasarkan 5 posisi kontrol, posisi manakah yang paling sering Anda pakai, dan bagaimana perasaan Anda saat itu? Setelah mempelajari modul ini, posisi apa yang Anda pakai, dan bagaimana perasaan Anda sekarang? Apa perbedaannya?
Sebelum mempelajari modul ini, saya sering menggunakan posisi kontrol "Pengendali Eksternal" yang cenderung mengarahkan siswa dengan aturan yang ketat. Saat itu, saya merasa kontrol lebih terjaga, tetapi hubungan dengan siswa terasa kaku. Sekarang, setelah memahami konsep kontrol restitusi, saya lebih sering berada dalam posisi "Pembimbing" yang mendorong siswa untuk berpikir reflektif. Perbedaannya, hubungan saya dengan siswa menjadi lebih terbuka dan kolaboratif.

7. Sebelum mempelajari modul ini, pernahkah Anda menerapkan segitiga restitusi ketika menghadapi permasalahan murid Anda? Jika iya, tahap mana yang Anda praktekkan dan bagaimana Anda mempraktekkannya?
Sebelum mempelajari modul ini, saya tidak secara sadar menerapkan segitiga restitusi. Saya lebih fokus pada pemberian sanksi dan jarang mengajak siswa untuk merefleksikan tindakan mereka. Namun, saya kadang-kadang menggunakan tahap pertama, yaitu mengidentifikasi perasaan siswa, untuk memahami alasan di balik perilaku mereka. Setelah belajar lebih dalam, saya sekarang mengintegrasikan seluruh proses segitiga restitusi dalam menangani permasalahan.

8. Selain konsep-konsep yang disampaikan dalam modul ini, adakah hal-hal lain yang menurut Anda penting untuk dipelajari dalam proses menciptakan budaya positif baik di lingkungan kelas maupun sekolah?
Selain konsep-konsep dari modul ini, penting untuk mempelajari lebih dalam tentang komunikasi non-verbal dan empati dalam interaksi dengan siswa. Memahami bahasa tubuh dan isyarat emosional siswa dapat membantu dalam membangun hubungan yang lebih kuat. Selain itu, pendekatan *Restorative Justice* dan teknik mediasi konflik juga dapat menjadi alat yang efektif dalam menyelesaikan masalah di sekolah dengan cara yang konstruktif dan mendukung budaya positif.




BERIKAN KOMENTAR ()