Photo by Federico Di Dio photography on Unsplash |
***
Namaku adalah Ageng Prangbatin, seroang
pemuda yang hampir berumur 3 dekade yang kini memutuskan diri dari absurdnya
dunia. Aku men-drop-outkan diri dari
surau estetika yang dulu aku anggap tempat yang paling menyenangkan.
Teman-teman mengenalku sebagai pribadi yang sangat pendiam. Mulutku sejak dulu
memang tak pernah baikan dengan kata-kata, aku terbiasa terdiam dan hanya
sesekali tersenyum. Senyumkupun seingatku sudah mati seiring dengan kepergian
satu per satu teman-temanku yang aku rasa dulu sebagai dunia luar rumah yang
nyaman. Penuh dengan canda tawa, kehangatan dan keceriaan walaupun aku hanya
mampu melihat dan merasakannya dari jauh meski saat itu secara fisik kami
sangat dekat. Saat ini yang mampu
memahamiku hanyalah dinding kamarku dan gitar bututku. Dan teman setiaku adalah
setumpuk pil yang harus ku habiskan tiap hari. Aku semakin merasa hanya
berjuang seorang diri di dunia ini. Lebih-lebih setelah beberapa kali keluar
masuk opname di rumah sakit.
***
“Bu, kondisi Prang saat ini agak lebih
baik dari minggu lalu”. Ucap Dokter Tian”
“Terima kasih Dok, saya mohon dokter, tolonglah
anak saya agar segera pulih kembali.” Sahut Ibu
“Baik Ibu, kami akan usahakan yang
terbaik. Ibu yang sabar ya dan tetap kita mohon Pada-Nya, dan jangan terlambat
untuk selalu memberikan obat antipsikotik seperti biasa tiga kali sehari ya”.
Seru Dokter Tian menenangkan.
***
Aku berjalan di belakang ibu, kami
berjalan menyusuri teras-teras kamar rumah sakit setelah keluar dari ruangan
Dokter Tian. Di kejauhan ku lihat beberapa orang yang sedang sakit. Tapi
menurutku mereka masih beruntung , karena disekitarannya masih banyak
teman-teman yang peduli dan membawakan keceriaan hingga sakit yang ia terima
mungkin tak terasa begitu membebani. Berbeda dengan aku, secara fisik orang melihatku tidak akan
menemukan tanda-tanda bahwa aku sedang sakit, namun bisa kupastikan sakitnya
melebihi orang-orang sakit yang kulihat itu.
***
“Assalamu’alaikum Bu Mida!” Celetuk bu
Heni
“Wa’alaikum salam , eh bu Heni”. Sambut
bu Mida terbata-bata
“Mau kemana? Kok sepertinya
terburu-buru.” Sambung bu Heni
“ Iya bu, ini saya mau kerumahnya ustad
Rofiq.” Jawab bu Mida
“Loh, ada perlu apa bu, kalau boleh
tahu,tentang Prang ya!” Tegas bu Heni
“Iya bu, saya mau berkonsultasi tentang
kondisinya Prang sekarang, siapa tahu ada jalan keluar yang baik di sana, “
jawab bu Mida.
‘”Oh ya, ya sudah hati-hati bu ya
dijalan” ucap bu Heni
“Terima Kasih Bu Heni, Assalamu’alaikum”
jawa bu Mida
“wa’alaikum salam”. Tutup bu Heni.
***
Sore ini aku baru terbangun, seingatku siang tadi ibu datang bersama ustad
Rofiq dan 2 orang muridnya. Aku tak mengerti apa yang mereka kerjakan disini,
seingatku setelah kedatangan mereka kerumahku dan bercakap-cakap sebentar
dengan ibu. Mereka mendatangi kamarku. Ibu menyuruhku berbaring begitu saja.
Akupun pasrah, sepertinya mereka memegang keningku sambil membaca bacaan-bacaan
seperti yang kudengar tiap hari di masjid timur dekat rumahku sesaat sebelum
adzan dikumandangkan.
“Prang, kamu baik-baik saja nak?” tanya
Ibu sambil mengusap peluh yang besimbah di sekitaran mukaku
“Makan dulu ya Prang?, Ibu khawatir,
hampir dua jam lebih kamu pingsan.”. Ucap ibu pelan.
“Ibu suapin ya?” Pinta ibu lagi
Sesaat kemudian suasana terasa hening,
ibu terduduk diam disebelahku sambil menatap erat di wajahku.
“Bu….aku sudah tak punya harapan lagi.
Aku tak punya masa depan yang jelas. Maafkan aku bu. Hingga sebesar ini aku
hanya mampu menjadi beban pikiran dan tanggunganmu.” Ucapku pasrah.
“Tidak Prang, kamu masih punya harapan
nak.” Jawab ibu menghibur
“Tidak bu, masa depanku sudah hilang,
lilahtlah bu, Kuliahku berantakan, bahkan temanpun aku sudah tak punya bu, merka
tak ada yang peduli, mereka tak ada lagi yang mengingatku. apa yang bisa aku
harapkan, apa yang bisa aku andalkan bu.” bentakku dengan keras
“lihatlah bu, apa yang bisa kulakukan
sekarang. Tanpamu aku hanya seonggok tubuh pengisi kamar, aku hanya bisa
mengisi hari-hari tuamu dengan beban yang semakin bertumpuk seriring dengan
memutihnya rambutmu bu. Apa coba yang bisa ku berikan padamu selain air mata.
Apa bu!. “
Ibuku menjawab semua perkataanku hanya
dengan tetasan bening air yang jatuh dari matanya. Ia tetap terdiam dipinggir
tempat tidurku. Aku hanya bisa melihat langit-langit kamarku yang mulai terisi
oleh arsiran rumah laba-laba kecil. Aku merasa hidup ini sudah tak ada tujuan
lagi, tak ada harapan yang ingin kucapai, jangankan mencapainya berharap-pun
rasanya aku sudah tak ingin dan mampu lagi. Aku sudah terlalu lama nyaman dalam
kondisi seperti ini. Aku selalu ingat,
mereka yang bisa memahami dan memberikan ketenangan yang kubutuhkan sudah pergi
menjauh. Tak ada lagi teman, tak satupun lagi kawan yang biasa mengisi
hari-hari dengan tawa, kekompakan, kebersamaan dan kehangatan cengkrama yang
membuat dunia kecilku menjadi tak terbatas, menghilangkan sekat-sekat ketidak
pastian, membinasakan sendi-sendi perbedaan. Disana saat itu semua tumpah ruah
dalam gemulai estetika, yang walaupun satu dua hal kami sulit untuk memahami
akan tetapi kasatnya visual yang kami tampakkan seakan sudah mampu mengganti
seluruh kata-kata dan istilah yang tak kami pahami dan lebih-lebih tak kami
butuhkan. Saat ini aku hanya ingat satu dunia di dalam galaksi ini, dunia yang
penuh warna, dunia yang penuh hangatnya mentari persaudaraan, dunia yang penuh
dengan awan ocehan dan celotehan yang saling menguatkan semangat tuk terus
menghasilkan, berkarya dan mengupas alam imajinasi dan khayalan. Dan seingtku dunia
itu bernama Gomball, dimanakah mereka?
Oleh : Ismanadi
Kisah dalam cerpen ini adalah true story
yang saya tulis untuk menggambarkan kondisi salah satu rekan kita saat ini. Sumber
tulisan yang saya adaptasi dari perbincangan ringan namun serius disaat
membahas hasil home visit bapak Taufik, Bapak Yuga dan Bapak Amon kerumah rekan kita yang kita kenal sebagai “The Most
Silent Man”.