Img by Khara Wood - unsplash.com |
Melihat-lihat karya gambar anak-anak waktu penilaian akhir tadi siang, ada rasa kagum, bangga dan juga beberapa ada yang membuat kecewa. Kecewa bukan berarti karena gambarnya nggak sesuai dengan harapan, akan tetapi kecewa karena nggak mengindahkan tugas yang sudah diberikan, alias nggak mengumpulkan tugas. Berbicara mengenai tugas menggambar ini menjadikan saya teringat masa-masa ketika masih bersekolah di jenjang yang sama (SMP). Kala itu banyak teman perempuan saya yang seringkali mengeluh ketika ada tugas menggambar, karena hal tersebut seringkali membuat mereka terlambat mengumpulkan tugas, dan bahkan ketika ditanya oleh guru mengapa terlambat mengumpulkannya mereka seringkali bilang, “Maaf Pak!, saya tidak bisa menggambar.”.
Masa berkesenian (menggambar) anak dalam jenajng pendidikan mengengah pertama merupakan masa yang bisa dikatakan tingkat anak dalam Tahap Naturalisme Semu (The Pseudo Naturalistic Stage) sebuah istilah untuk masa periodesasi menggambar anak-anak . Pada periode ini anak mengalami masa transisi dari masa anak-anak ke masa remaja. Usia ini sering disebut masa pubertas. Masa anak sering terombang-ambing jiwanya. Anak mulai kehilangan kemampuan spontanitas dalam membuat gambar, karena mulai menggunakan penalarannya. Perubahan dari ketidaksadaran menuju kekesadaran. Oleh sebab itu anak menjadi lebih kritis dan menyadari dirinya sendiri. Mereka mulai mampu membuat bentuk secara proposional dan detail dari benda yang digambar. Sehingga dalam masa inilah anak seringkali merasakan penurunan atas rasa spontanitasnya dalam menggambar yang mengakibatkan kepercayaan dirinya dalam hal itu juga menurun sehingga seringkali dia merasa “Tidak” dapat menggambar dengan baik.
Jika dicermati lebih dalam lagi, tujuan utama pembelajaran seni di sekolah formal bukanlah semata-mata menjadikan seorang anak atau seorang siswa mahir dalam menggambar, atau lebih-lebih nantinya mencetak dia untuk menjadi seorang seniman yang handal. Akan tetapi lebih kepada menjadikan seni sebagai media mengskplorasi dirinya sendiri, sebagai sarana untuk berapresiasi dan berkreasi yang dapat menjadikan belahan otak kanan dan otak kiri sama-sama dilatih dan digunakan secara seimbang proporsional secara ideal.
Saya sangat yakin sekali bahwasanya setiap orang, setiap anak, siapapun mereka; semuanya bisa menggambar dengan baik. Kriteria “baik” dalam hal ini memang ada tingkatannya sendiri-sendiri, tergantung dari kita menilainya dari sudut pandang yang mana. Kenapa saya sangat yakin setiap orang dapat menggambar dengan baik, hal itu semata-mata karena setiap orang dikaruniai dengan belahan otak yang sama, volume yang sama dan anggota badan yang sama yang membedakan dari kesemua itu hanyalah mengenai kemampuan. Lantas mengapa kemampuannya berbeda, ya memang dari awal telah ada perbedaan dari kebiasaan belajarnya, lingkungannya dan juga faktor eksternal yang lain.
Untuk itu tidak sepatutnya bagi seroang siswa yang mempunyai tugas menggambar dan ia tidak mengerjakannya ataupun terlambat mengumpulkan gara-gara alasan tidak bisa menggambar. Karena bagaimanapun pastinya setiap orang itu bisa menggambar, asalkan dia bisa menorehkan sebuah garis saja, berarti ia telah memiliki syarat untuk bisa menggambar. Dan yang lebih pasti lagi hasil akhir bukanlah penilaian mutlak (terutama dalam kegiatan seni), akan tetapi nilai proses dan nilai tanggung jawab dalam mengerjakan tugas juga sangat penting, dan dua hal terakhir inilah yang menjadi fokus utama, lebih-lebih untuk kegiatan pembelajaran seni di sekolah formal.
Simak video keren berikut ini, agar semakin mendapatkan pencerahan
ismanadi
sumber :
- YT Channel Cerdasaurus
- YT Channel Kok Bisa