Photo by Philipp Potocnik on Unsplash |
Oleh : Dr. Agus Priyatno, M.Sn
Disejumlah negara bagian Amerika Serikat, multikulturalisme diadopsi secara resmi dan dijadikan kebijakan pemerintah sejak tahun 1970an dan seterusnya. Multikulturalisme (multiculturalism) sebagai filosofi adalah bagian dari pergerakan pragmatism (pragmatisme) pada akhir abad 20 di Eropa dan Amerika serikat, kemudian secara politik dan kebudayaan dikenal sebagai pluralism (pluralisme).
Para filsuf, psikolog dan sejarawan serta ahli sosiologi awal seperti Charles Sanders Peirce, William James, George Santayana, Horace Kallen, John Dewey, W. E. B. Du Bois dan Alain Locke membangun konsep cultural pluralism (pluralisme kultural). Istilah cultural pluralism dipergunakan sebelum pada akhirnya dipergunakan istilah multiculturalism (multikulturalisme) yang kini lebih populer. Dalam Pluralistic Universe (1909), William James memperkenalkan gagasan "plural society." James melihat pluralism sebagai "wujud penting dari humanisme sosial dan filsafat untuk membantu membangun masyarakat yang setara (egaliter) dan lebih baik".
Migrasi penduduk dari berbagai belahan dunia dan kemudian menetap di suatu wilayah dalam jumlah cukup besar membentuk masyarakat multietnik. Masyarakat yang tersusun atas dasar keanekaragaman etnik dan budaya ini melahirkan masyarakat majemuk (plural society). Peran serta setiap etnik dengan kebudayaan mereka yang berbeda dalam membangun kemajuan masyarakat perlu diakui dan diberi tempat. Hal ini mendorong munculnya konsep multikulturalisme di sejumlah Negara maju.
Multikkulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik perbedaan individual maupun perbedaan kelompok dilihat secara budaya. Ideologi ini merupakan sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralism budaya atau keanekaragaman berdasarkan atas perbedaan-perbedaan secara budaya sebagai sebuah corak tatanan kehidupan masyarakat (Suparlan, 2008).
Multikulturalisme mengagungkan dan berusaha melindungi keanekaragaman ke budayaan yang ada dan mendorong terwujudnya keanekaragaman kebudayaan yang mantap dan bersendikan pada prinsip kesederajatan. Dalam pengertian multikulturalisme, sebuah masyarakat, termasuk juga sebuah masyarakat bangsa, mempunyai kebudayaan bangsa yang merupakan kebudayaan mainstream, yang merupakan sebuah mozaik di dalam mozaik itu tercakup keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat yang merupakan kebudayaan bangsa tersebut (Suparlan, 2008).
Photo by Fikri Rasyid on Unsplash |
Multikulturalisme memberi pengaruh pada kebijakan pemerintah di beberapa bagian Negara di Amerika Serikat untuk membangun masyarakat setara berdasarkan keanekaragaman budaya. Kebijakan pemerintah ini meliputi: Pengakuan terhadap adanya keanekaragaman warganegara; Mendukung suratkabar, televisi dan radio disampaikan dalam bahasa minoritas; Mendukung berbagai festival, perayaan dan adanya hari libur bagi setiap etnik untuk hal tersebut; Menerima pakaian tradisional dan keagamaan di sekolah, masyarakat dan kemiliteran; Mendukung seni dan musik dari kebudayan minoritas; Program yang mendukung kesertaan minoritas dalam politik, sains, teknologi, matematika, pendidikan dan pertahanan; Mendukung adanya perbedaan aturan hukum setiap warganya pada setiap kelompok etnik. (peraturan hukum yang berlaku hanya khusus bagi komunitas tertentu).
Multikulturalisme menjadi wacana yang semakin populer dewasa ini, namun dalam kehidupan nyata paham ini telah dipraktekan secara bijak oleh bangsa Indonesia selama berabad-abad. Bangsa Indonesia adalah bangsa anekabudaya (multikulutural), terdapat lebih 700 etnik dengan berbagai produk kulturalnya yang berbeda satu sama lain. Bahasa, arsitektur rumah adat, mode busana tradisional, kuliner, seni musik, tari, drama, lukisan, patung dan berbagai produk budaya lainnya adalah berbeda antara etnik yang satu dengan etnik lainnya. Arsitektur rumah etnik Jawa berbeda dengan etnik Batak atau suku-suku lainnya. Pahatan karya seniman Bali berbeda dengan pahatan suku Asmat dari Papua. Busana suku Bugis di Makasar berbeda dengan busana suku Dayak pedalaman Kalimantan.
Perbedaan budaya (cultural) itu menjadikan Indonesia kaya dengan produk-produk estetika. Batik sebagai salah satu produk budaya Indonesia dengan estetika kualitas tinggi kini bahkan diakui dunia.
Telah ribuan tahun bangsa Indonesia hidup dengan perbedaan budaya antar etnik, dapat dikatakan multikulturalisme telah dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari bangsa ini. Multikulturalisme, paham yang sudah diterima dalam kehidupan sehari-hari bangsa ini tanpa merasa perlu dipertanyakan kembali. Multikulturalisme dipandang secara positif dan dianggap sebagai kemestian dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang aneka budaya ini. Bangsa Indonesia dengan semboyannya yang terkenal Bhineka Tunggal Ika menerima perbedaan antara etnik satu dengan lainnya sebagai kekuatan. Undang-Undang Dasar negeri ini juga mengakui adanya perbedaan budaya setiap etnik dan menjadikan setiap puncak kebudayaan sebagai kebudayaan Indonesia. Produk hukum yang berlaku juga mengakui setiap suku bangsa di negeri ini setara.
Secara de facto sejarah menunjukkan, bangsa Indonesia dapat hidup damai dengan berbagai perbedaan antarbudaya (cultur) itu. Secara de jure, Negara mengakui dan melindungi serta memberi tempat bagi adanya perbedaan budaya (cultur).
Multikulturalisme bukanlah sesuatu yang baru dan asing bagi bangsa Indonesia. Multikulturalisme, sesuatu yang baru dan asing bagi bangsa-bangsa lain yang biasanya jauh dari kehidupan multibudaya. Di Indonesia sudah umum dan tidak mengherankan jika dalam satu ruang kelas, siswa-siswanya terdiri dari berbagai macam etnik. Selain itu, banyak kampung yang penduduknya dari etnik Jawa, Papua, Minang, Melayu, Batak, Bugis, Sunda serta keturunan Arab, Cina, India dan sebagainya. Setiap etnik memiliki kekhasan budaya masing-masing dan identitas budaya ini dapat dibawa ke ruang kelas. Dunia pendidikan di Indonesia sudah semestinya menerima multikulturalisme sebagai bagian dari kehidupan intelektual untuk menciptakan masyarakat maju dengan berbeda-beda budaya (kultur) masyarakatnya.
Multikulturalisme dalam Globalisasi
Multikulturalisme sebagai paham untuk mempertahankan budaya setiap etnik dan memperjuangkan keberadaannya dalam kelompok masyarakat yang beraneka budaya berhadapan dengan persoalan globalisasi. Dewasa ini globalisasi menyebabkan penyeragaman produk-produk budaya yang didorong oleh industri modern di berbagai belahan dunia sehingga keberadaan produk-produk budaya lokal mulai mengalami ancaman serius. Sebagi contoh, orang Jawa mulai tidak lagi membangun rumah berdasarkan arsitektur asli Jawa. Demikian pula dengan orang Batak, Melayu, Minang, Dayak dan sebagainya. Busana yang dikenakanpun tidak lagi berdasarkan produk-produk lokal. Demikian pula dengan produk budaya lainnya. Di Sumatera Utara, bangunan-bangunan baru bahkan kebanyakan tidak berbeda dengan bangunan baru yang ada di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Kebanyakan bangunan baru itu sudah meninggalkan identitas arsitektur lokal. Padahal pada masa lalu bangunan-bangunan di daerah itu menggunakan material-material lokal sebagai bahannya. Dalam Sejarah Sumatera disebutkan, masyarakat di pulau Sumatera menggunakan bahan-bahan alam setempat untuk membangun rumah. Bentuk rumah dirancang berdasarkan kemampuan dan kreativitas masyarakat setempat (Marsden, 2008).
Di era globalisasi, multikulturalisme dapat dibaca sebagai upaya mempertahankan budaya lokal di tengah-tengah arus budaya industri yang serba seragam. Sebagai orang Jawa mestinya batik menjadi bahan busana yang paling banyak dipakai dan sering dipakai di daerah ini, namun kenyataannya batik hanya dipakai pada saat2 tertentu saja. Pada zaman dahulu batik menjadi bahan busana yang dikenakan setiap hari. Demikian pula dengan etnik-etnik lain seperti Batak, Bugis, Minang, Melayu dan etnik-etnik lainnya di Nusantara mestinya menjadikan kain tenun lokal dan produk-produknya sebagai bahan busana yang dipakai sehari-hari. Produk lokal selain sebagai identitas budaya, tentu saja ada dampak lain seperti ekonomi dan ketahanan Nasional. Bangsa yang memproduksi sendiri kebutuhannya akan menjadi bangsa yang mandiri dan menjadi bangsa merdeka secara politik, ekonomi, maupun budaya.
Perguruan Tinggi di Indonesia dapat berperanan dalam hal ini. Melalui pendidikan dan upaya-upaya individual dosen dan mahasiswa dapat dilakukan untuk mempertahankan identitas budaya lokal sebagai gaya hidup modern yang bermartabat. Melalui lembaga pendidikan, produk-produk lokal dapat didokumentasikan dan diteliti kemungkinan pengembangannya. Melalui upaya individu dosen dan mahasiswa, mereka dapat mempropagandakan agar masyarakat menggunakan produk lokal sebagai produk budaya berdampak pada perekonomian masyarakat dan ketahanan nasional. Multikulturalisme menjadi paham yang diperjuangkan secara praktis oleh sejumlah seniman di berbagai Negara. Dalam disertasi Unsur-Unsur Islam dalam Seni Lukis Modern di Indonesia 1962-1998 dijelaskan, ada upaya memperjuangkan multikulturalisme di berbagai tempat. Disebutkan, para seniman yang tidak berkiblat pada mainstream senilukis Barat berusaha menciptakan aliran sendiri (Priyatno, 2007).
Multikulturalisme dalam Pendidikan Seni
Multikulturalisme dalam pendidikan seni di Indonesia dapat dipahami sebagai upaya pengembangan kebudayaan daerah, dalam hal ini senirupa dan kriya, melalui lembaga pendidikan tinggi seni. Pengambangan kebudayaan lokal sudah semetinya didukung oleh institusi pendidikan tinggi seni bagi keberadaan dan pengembangannya. Potensi budaya daerah di Indonesia selama ini tidak didukung oleh adanya perguruan tinggi seni di daerahnya masing-masing.
Institut seni di Indonesia yang sudah ada selama ini tidak memadai untuk pengembangan seni daerah. Masyarakat Indonesia beraneka ragam dan berjumlah ratusan juta tidak mungkin diwadahi dalam satu atau dua Instutsi Pendidikan Seni. Mestinya setiap daerah memiliki Institusi Seninya masing-masing, selain Institut Seni Indonesia yang mewadahi kepentingan kemajuan seni modern yang sudah ada.
Institut Seni Indonesia Yogyakarta mestinya diubah menjadi Institut Seni Yogyakarta Indonesia. Demikian pula dengan Institut Seni Indonesia di Bali dan Surakarta mestinya diubah menjadi Institut Seni Bali dan Institut Seni Surakarta Indonesia. Setiap daerah idealnya memiliki Institut Seni daerahnya masing-masing, sehingga ada Institut Seni Batak, Institut Seni Bugis, Institut Seni Papua dan sebagainya. Dunia pendidikan tinggi seni di Indonesia mesti memperkuat potensi kebudayaan daerah untuk maju dan berkembang, namun demikian seni modernnya juga tetap dapat dipelajari dan dikembangkan.
Produk-produk senirupa seperti lukisan, pahatan, grafis dan kriya berbahan baku logam, kayu, kulit, bambu, serat tanaman, tulang, batu, kristal, tanah liat, dan kaca dalam konteks multikulturalisme dapat dibaca sebagai upaya memaksimalkan kekayaan bahan baku lokal dan kreativitas lokal untuk memproduksi karya seni beridentitas lokal. Setiap daerah mestinya memiliki produk-produk senirupa dan kriya berbasis pada kekayaan alam dan kreativitas lokalnya. Produk-produk lokal yang didukung oleh bahan baku lokal akan menjadikan produk ini unik dan akan memperkaya estetika produk-produk senirupa.
Photo by Dikaseva on Unsplash |
Jurusan Seni Rupa FBS Unimed Medan, seperti halnya jurusan senirupa di tempat lain di Indonesia, mahasiswa dan dosennya terdiri dari berbagai macam suku dan agama dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda. Berbagai perbedaan budaya ini dapat dilihat dari berbagi sisi sebagai suatu kekuatan budaya, berbagai produk seni yang dihasilkan dapat lebih beraneka ragam, setiap mahasiswa dan dosen dapat menciptakan karya seni dan kriya berdasarkan latarbelakang etniknya masing-masing.
Ada beberapa etnik besar di jurusan tersebut seperti etnik Batak, Melayu, Minang, Nias, Aceh, dan Jawa. Berbagai perbedaan identitas budaya ini diterima dan diberi kesempatan untuk berkembang tanpa hambatan. Produk-produk seni rupa dari jurusan itupun semakin beraneka ragam. Hal ini tentu saja dapat dianggap sebagai bagian dari praktek multikulturalisme.
Bangsa Indonesia terbiasa dengan berbagai perbedaan, mungkin malah akan terasa aneh jika bangsa Indonesia tiba-tiba hidup dalam masyarakat homogen bukan heterogen. Multikulturalisme sebagai suatu paham dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia dan memberi pengaruh terahadap munculnya kreasi-kreasi produk-produk estetikanya. Karya seni rupa dan kriya menjadi kekayaan intelektual yang sangat melimpah ruah di negeri ini karena bangsa Indonesia menerima dan memberi tempat bagi setiap identitas budaya etnik.
Kekayaan budaya (multikultur) bangsa Indonesia dalam bidang senirupa dan kriya menunjukkan bagaimana multikulturalisme telah dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari secara positif. Produk senirupa tradisional maupun modern seperti lukisan, pahatan, grafis, motif dan sebagainya banyak terdapat di tengah-tengah masyarakat dan masih diproduksi hingga kini. Krator-kreator seni rupa memproduksi secara kreatif karya seni dengan bahan baku dari kekayaan alam lokal. Perguruan tinggi seni dapat memberi pengaruh agar kebijakan-kebijakan pemerintah memberi ruang bagi tumbuh dan berkembangnya produk-produk lokal beridentitas etnik setempat.
Penulis: dosen seni rupa FBS Unimed Medan.
Sumber ; Harian Analisa
- YT Channel Erik Hedenfalk