Photo by Mufid Majnun on Unsplash |
Oleh : Risang Anom Pujayanto
Dalam kisaran angka tahun 1990an, geliat sanggar tari seperti tidak terbendung. Di Surabaya, daerah Genteng saja terdapat sanggar tari Solo, sanggar tari PLT Bagong, sanggar tari Sunda, sanggar tari Modern, sanggar tari Bali, Yayasan Bina Tari Jatim. Saat ini, beberapa sanggar masih bertahan dan yang lain telah kehilangan eksistensi. Kematian beberapa sanggar tari tersebut bukan berarti mengurangi rutinitas sanggar tari di Jatim, khususnya Surabaya. Pasalnya, setiap sanggar tari yang mati diganti sanggar-sanggar tari baru. Raff dance, Gita Marron, Studio Tydif, Candi Ayu merupakan di antaranya. Bahkan saat ini di daerah Simo, Kenjeran, Semolowaru, Kebaron, dan hampir di seluruh wilayah kecamatan Surabaya juga terbit sanggar-sanggar baru. Artinya, kondisi saat ini sanggar tari mulai kembali seperti era 1990an. Patut disayangkan potensi di titik-titik ini kurang mendapat perhatian dari instansi daerah yang menaungi. Akibatnya, pendapat miring pun terdengar nyaring. Bahwasannya, nasib sanggar diperkirakan tidak bakal bertahan lama. ”Sudah beruntung Surabaya masih memiliki puluhan sanggar. Sepatutnya ini terus dijaga dan dioptimalkan potensinya,” pinta Ketua Yayasan Bina tari Jatim, Tri Broto Wibisono. Wisata seni merupakan salah satu proyek yang bisa dibangun ke depannya. Selain akan menambah devisa negara dari pemasukan turis yang berhasrat pada tarian-tarian etnik, juga dapat menelurkan generasi penari, lanjutnya.
Kepedulian akan seni tari memang masih dalam tataran rendah. Dan, ramalan akan sanggar nyaris meraih kenyataan. Di berbagai sanggar mengakui, minat generasi tari dari waktu ke waktu terus mengalami penurunan. Peminat terbanyak masih diikuti oleh anak-anak. Ironisnya, ketika mulai beranjak dewasa, masing-masing peserta didik seni tari memilih tidak melanjutkan tari. ”Karena apresiasi masyarakat metropolik menurun,” sahut pimpinan tunggal Studio Tydif Surabaya, Dra Diaztiarni Azhar. Sehingga menimbulkan kesan kesia-siaan mempelajari tari dalam diri setiap peserta tari. Implikasinya, dari berbagai sanggar yang tersebar dan yang masih tetap menjaga eksistensinya, dikentarai hanya sebagian kecil yang bisa dikatakan produktif. Lainnya hanya syukur bertahan saja, tambahnya.
Secara materi, untuk mengadakan satu pagelaran tari memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Jadi tidak mungkin menyalahkan sanggar tari, jika geliat seni tari tidak populer di daerah sendiri. Sokongan dana dan ruang dari instansi pemerintah dan perusahaan swasta menjadi harapan yang bisa mengubah keadaan tari di daerah sendiri. Apresiasi dari kedua instansi tersebut pernah menjadi primadona seni tari di era 1990an.
Saat ini, beberapa apresiasi formal tersebut masih kerap ditemui. Hanya saja frekuensi ditentukan seiring momentum-momentum tertentu. Fatalnya untuk saat ini, ketika perhatian itu didapat justru menimbulkan kerancuan-kerancuan baru. Ketika ada even kenegaraan, misalnya, pemilihan partisipan sanggar tidak pernah merata. Hanya sanggar-sanggar tertentu yang menjadi pilihan. Sedangkan apabila apresiasi datang dari pihak swasta, keberadaan tari menjelma budak yang wajib menuruti kemauan tuannya. Dan, seni mengalami perombakan total menjadi komoditi belaka. Dalam sekolah seni pun tidak berbeda. Di Jatim, seni merupakan pendidikan wajib untuk siswa setara tingkat dasar, kecuali di sekolah pendidikan khusus seni. Ini berbeda dengan daerah Jateng. Sebagai pendorong kesenian untuk tetap bersemi, pemerintah memasukkan seni ke dalam kurikulum jalur prestasi untuk meraih pendidikan yang lebih tinggi. Dengan begitu, perihal pembinaan seni diakui jauh lebih baik. ”Seni berkaitan dengan aspek moral. Beberapa orang yang berminat dalam bidang ini saja merupakan intan mutiara yang wajib dijaga. Bukan karena secara kuantitas minim, malah justru tidak mendapat dukungan,” jelas Tri Broto. Tak ayal, pendidikan pun menjadi kering makna moral.
Selain itu, di pendidikan tinggi seni, mahasiswa seni ditengarai sekadar memenuhi tuntutan pendidikan. Pasca lulus pendidikan, seni tak ubahnya bak barang yang usang dan siap dibuang. Karena itu, kontribusi tari jatim justru dihasilkan dari sanggar ketimbang perguruan tinggi. Kepala Sendratasik Unesa jurusan Tari, Drs Djoko Tutoko MSn mengatakan, sejatinya pembinaan tari di sekolah seni masih bagus. Pasalnya, terdapat dukungan finansial dan apresiasi dari instansi yang menaungi di atasnya. Kegiatan lomba, pagelaran, diskusi, workshop dan sebagainya bagian yang tidak terputus dalam sekolah seni. ”Bahkan, Sendratasik Unesa berencana akan memfasilitasi pagelaran antarsanggar tari seJatim bulan Oktober nanti,” katanya. Hanya saja mental berkesenian memang masih terus menjadi pekerjaan rumah tersendiri, mengingat lingkungan masyarakat seni Jatim kurang mendukung. Etnik dan kontemporer. Dua medium material yang menjadi basis eksplorasi sanggar dan sekolah seni. Komoditi dan seni murni. Dua obyek material yang menjadi orientasi pemilihan sanggar dan sekolah seni.
Dok. timesindonesia.com |
Sejauh ini, menurut pimpinan Raff Dance Arif Rofiq, kecenderungan tari sanggar yang tidak lagi pada tataran seni, melainkan komoditi, sejatinya tidak selalu benar. Sebab, tipikal tari tradisi adalah paket tari etnik yang bisa dipelajari sebagai bahan pencetak generasi penari handal. Tidak dipungkiri, pergeseran tujuan sanggar merupakan keniscayaan yang sukar dihindarkan. Namun meski demikian, seharusnya dalam kepentingan ekspresi seni, orang tari serta-merta harus terjebak harus menampilkan seni kontemporer. ”Kontemporer sering dipahami ke balet-baletan. Asal gerak mulet dalam improvisasu,” tutur Arif Rofiq. Dengan begitu, tubuh penari sebagai media ekspresi seringkali menyajikan tubuh yang kaya nuansa tetapi kering makna. Ikon-ikon tradisi yang ditayangkan seringkali menjadi nuansa dan kilasan kesan, pesan pintas.
Dalam konteks yang lebih mendalam idiom dan medium tradisi dikemas untuk menyatakan nilai-nilai baru, gagasan baru yang secara signifikan tidak terkait dengan nilai dan semangat aslinya. ”Obyek material tradisi etnik dipaksa menjelejahi ruang dan makna yang baru. Seringkali terlepas dari budaya dan keutuhan kosmisnya, menjadi simbol yang sama sekali baru,” ucap pengajar STKW dan penari lulusan STSI Surakarta, R Djoko Prakosa SSn. Kontemporer harus tumbuh dari tari lokal secara mandiri. Dengan mengamati apa saja yang bisa dieksplor sedemikian rupa. Bahkan, menurut Tri Broto, pengurangan durasi waktu yang paten dalam suatu pementasan tari pun bisa dikatakan sebagai kontemporer. Daripada harus mengacu pada asal percampuran tari lokal dan tari dari luar. Sebab, apabila kontemporer yang dimaksud ialah percampuran serampangan tanpa pijakan tari lokal, maka jati diri tari lokal kontemporer akan ditemukan di setiap daerah-daerah lain. Katakanlah, tari kontemporer Jatim akan sama dengan kontemporer tari Solo, karena adanya kesengajaan persinggungan antarkeduanya.
Sanggar tari dan sekolah seni merupakan pusat dari kegemilangan seni dan moral di Jatim, maka seyogyanya diperhatikan dan dimanfaatkan kesempatan segala potensi. Membiarkan perkembangan secara mandiri sama halnya melakukan perjudian. Antara kematian dan perbaikan. Sementara apabila area ini dioptimalkan, dapat dipastikan penari hiburan, penari profesional, dan seniman tari hadir mewarnai dan bakal semakin mengangkat nama besar Jatim. Sebab tanpa diperhatikan saja, tari Jatim sudah disegani di level nasional maupun mancanegara
Ismanadi
Sumber :
Pos Kota Februari 2010