Mari sejenak bernostalgia ke masa-masa duduk di bangku sekolah dasar. Coba fokuskan untuk mengingat kembali pelajaran-pelajaran yang diajarkan oleh guru tercinta kita.
Salah satu mata pelajaran yang diajarkan adalah seni rupa. Pelajaran ini biasanya mewajibkan murid untuk melukis sesuatu objek dalam kertas gambar putih dengan pensil dan kelir warna atau krayon. Gambar atau lukisan yang paling indah menurut guru tentunya mendapatkan nilai delapan atau sembilan. Karena memang guru tak pernah memberikan nilai 10 untuk pelajaran ini, setidaknya dari pengalaman penulis sendiri.
Kita mengingat kembali apa yang kita gambarkan waktu itu. Bisa ditebak, gambar yang indah dan menarik menurut kita waktu itu adalah pemandangan pegunungan dan bunga di dalam sebuah pot. Dapat dipastikan lagi bahwa gambar pegunungan lengkap dengan jalan yang meliuk-liuk dan sawah yang terhampar luas dengan petani yang sedang bekerja adalah domainnya anak laki-laki. Sedangkan gambar bunga yang berwarna-warni dalam sebuah pot adalah wilayahnya anak perempuan. Begitulah lukisan itu dibagi per gender. Seperti telah ada pakem tertentu layaknya dalam dunia perwayangan yang pantang dilanggar.
Padahal apa yang dilukiskan adalah realitas yang sangat jauh dari diri anak-anak. Penulis sendiri mengingat bahwa dirinya yang tinggal di pesisir pantai dan tak pernah melihat pegunungan waktu itu namun ketika masuk pelajaran seni rupa tetap melukiskan alam pegunungan tadi sebagai objek gambar. Inilah ketika anak ter-alienasi (terasing) dengan hasil karya ciptanya sendiri.
Efek Pendidikan Gaya Bank
Adalah Paulo Freire (1921-1997). Seorang filsuf dan praktisi pendidikan dari Brazilia yang terkenal dengan konsep pendidikan pembebasan. Dengan palu godam daya kritiknya, Freire mencoba mendekontruksi model pendidikan formal yang ada semasa hidupnya di Brazil dan beberapa negara lain di Benua Amerika.
Menurut Freire, pendidikan formal telah melakukan "pembodohan" terhadap anak-anak didiknya. Karena di sekolah daya imajinasi dan kritik anak dimatikan oleh guru. Yang terjadi di sekolah adalah proses transfer pengetahuan dari seorang guru-yang menganggap dirinya sebagai orang yang paling tahu-kepada murid yang dianggap tidak tahu apa-apa. Inilah ironi ketika murid malah dibodohkan ditempat di mana seharusnya membuat manusia menjadi pintar.
Freire menyatakan bahwa model pendidikan sekolah formal adalah pendidikan gaya bank. Dalam hal ini guru dianalogikan sebagai penabung, sedangkan murid adalah brankas bank. Jadi dalam hal ini guru menabungkan pengetahuannya kepada murid-murid, layaknya orang yang menabung di bank.
Dalam buku "Pendidikan Kaum Tertindas", Freire menggambarkan pendidikan gaya bank itu sebagai: (1) guru mengajar, murid belajar, (2) guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak mengetahui apa-apa (3) guru berpikir, murid dipikirkan (4) guru bercerita, murid patuh mendengarkan (5) guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujuinya, (6) guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui, (7) guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya, (8) guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid menyesuaikan diri dengan pelajaran itu, (9) guru mencampuradukan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang dilakukan untuk menghalangi kebebasan murid, dan (10) guru adalah subyek dalam proses belajar, dan murid hanyalah objek belaka.
Kalau hal ini yang terjadi dalam pendidikan formal maka wajar anak-anak selalu menggambarkan pemandangan pegunungan dan bunga tiap kali pelajaran seni rupa. Guru sebenarnya telah menanamkan pada diri murid bahwa objek yang indah itu adalah pegunungan dan bunga. Murid sebagaimana pola pendidikan gaya bank tadi tidak bisa selain patuh, setuju, dan menyesuaikan dengan pendapat-pendapat guru. Murid sendiri hanya dipandang sebagai objek yang terikat sehingga tidak memiliki kebebasan dalam menyalurkan imajinasinya. Tentu hal ini tidak terbatas pada pelajaran seni rupa, melainkan mencakup semua mata pelajaran yang ada di sekolah.
Seni Rupa yang Membebaskan
Kembali ke pendidikan seni rupa. Murid sebenarnya dapat menggambarkan objek lain selain dari gunung dan bunga. Hal ini tentu saja apabila anak diberikan kebebasan untuk mengekspresikan daya imajinasi dan kritiknya. Dalam hal ini tentu saja tingkat keindahan bukan terletak pada goresan warna-wana yang dijalin anak dalam kertas gambar. Tapi bagaimana gambar tersebut dapat mengangkat gambaran realitas yang terjadi untuk kemudian didialogkan.
Misalkan saja seorang anak nelayan menggambarkan realitas kehidupannya sehari-hari; gambar orang tuanya, keluarganya, kampungnya, perahu bapaknya, dan lain sebagainya. Selanjutnya tentu lukisan yang dibuat itu didialogkan oleh murid dengan guru dan murid-murid lainnya. Sehingga memang anak membumi dengan apa yang telah diciptakannya.
Pelajaran seni rupa tersebut juga bisa dilakukan berkelompok. Di mana beberapa orang anak-anak melukis dalam satu kertas gambar (misalnya dalam ukuran karton satu kajang). Tema lukisan dapat ditentukan oleh anak-anak itu berdasarkan kesepakatan yang mereka buat bersama.
Dengan demikian pelajaran seni rupa tidak monoton dan miskin tema, terbatas pada gunung dan bunga. Tapi lebih bervariatif tergantung kepada anak-anak yang telah dibebaskan dalam memilih objek-objek gambar. Segregasi (pembatasan) antara tema lukisan anak laki-laki dan perempuan juga bisa ditembus, karena anak telah diberikan kebebasan untuk itu.
Lebih jauh Moelyono, seorang seniman seni rupa, pernah menggunakan media lukis untuk membongkar persoalan yang ada pada sebuah dusun yang ada di Tulung Agung, Jawa Tengah, pada warsa '80-an. Moelyono mengajak semua masyarakat yang ada pada dusun itu untuk menggambarkan persoalan-persoalan yang mereka hadapi.
Akhirnya segala persoalan yang ada pada dusun itu terungkap melalui lukisan-lukisan yang mereka buat. Ini tentunya setelah melalui proses dialog panjang, dan pada tingkat akhirnya masyarakat di dusun itu mengalami penyadaran. Misalnya dalam satu gambar terungkap persoalan tanah yang mereka tempati adalah milik jawatan perkebunan yang tiap tahunnya rutin harus membayar upeti kepada jawatan tersebut. Gambar itu memperlihatkan seorang petani yang pergi menyetor pisang kepada pegawai jawatan itu. Atau persoalan kehidupan nelayan yang merupakan mata pencaharian mereka. Tampak pada gambar tersebut masyarakat yang lagi menarik jaring ikan secara beramai-ramai.
Berdialog melalui lukisan, mungkin itulah kesimpulan sederhana yang dapat ditarik. Para "seniman" itu mendialogkan masalah-masalah mereka kepada orang lain melalui coretan-coretan bebas yang dituangkan dalam kanvas atau kertas. Sekali waktu mereka menggelar pameran. Orang-orang yang datang dan melihat pameran sekarang menjadi tahu apa masalah-masalah yang mereka hadapi. Dan apabila masalah-masalah yang ada telah diketahui tentu untuk mencari solusi terbaik dari masalah tersebut adalah langkah yang lebih mudah dari pada sebelumnya.
Selesai bernostalgia kita kembali ke realita saat ini. Penulis sendiri tidak tahu apakah tema lukisan anak di bangku sekolah dasar sekarang. Cobalah tanyakan sekali-kali pada mereka: "Apa yang kalian gambar pada pelajaran seni rupa?" Kalau jawabannya masih pegunungan dan bunga atau objek lain tapi merupakan efek dari hegemoni yang dilakukan guru, berarti proses pembodohan masih berlangsung terus-menerus. Dengan kata lain dunia pendidikan belum berubah. ***
Penulis adalah alumni Fakultas Hukum UISU sekarang aktif di Yayasan KKSP (Pusat Pendidikan dan Informasi Hak Anak) Medan.
Sumber : Harian Analisa
Image : Shutterstock